Yahoo! Messenger

Review gig Reuni Akbar Punk#3

Ini adalah salah satu gig yang paling dinanti oleh penikmat musik underground/ non-mainstream di kota Malang, Batu dan sekitarnya. Setelah jeda yang cukup lama dari jilid sebelumnya, kini Reuni Akbar Punk hadir kembali melepas dahaga akan hiburan musk yang tidak “kacangan”. Reuni akbar punk kali ini bertajukkan “Minor to Major”, banyak argumen untuk mengartikan kata tersebut, yang jelas Rocker Sayap Kiri selaku penyelenggara punya alasan untuk semua ini. Gig ini merupakan sebuah pesta ajang kumpul-kumpul plus hiburan musik yang diperuntukkan tidak hanya untuk para punker saja, namun juga subkultur-subkultur lainnya yang berurutan dan masih dekat dengan subkultur punk. Bertempat di GOR Ganesha kota Batu acara ini berlangsung dari pukul 12 siang hingga jam 11 malam. Namun, sialnya saya datang sangat terlambat dan harus membayar mahal dengan melewatkan penampilan Andjoeran pengoeasa dan Streithen, hal ini dikarenakan hujan lebat yang menghalangi mobilitas saya menuju kota Batu. Setelah basah kuyup menerjang hujan saya pun sampai ke lokasi dimana sedang berlangsung penampilan dari Pit Skankin, band Ska ini digawangi Risthi skinheadgirl yang bosan dengan irama ska cepat dan akhirnya mengajak sekumpulan remaja skinhead untuk kembali ke akar musik ska yang sebenarnya. Nyatanya mereka mendapat respon sangat baik sore itu, terbukti dari banyaknya penonton yang memadati bibir stage untuk berdansa bersama menikmati alunan “ska ria jenaka” yang pit skankin hadirkan. Beberapa menit setelah Pit Skankin turun dari stage, Tribun Timur band oi!/punk yang di motori oleh ceper sang skinhead memprovokasi penonton untuk menyanyikan bersama lagu-lagu mereka seperti “skinhead indonesia”, “skinhead selamanya” dan “crazy lion hooligans” yang bertemakan kebanggaan kelas pekerja dan hooliganisme.
Setelah break adzan magrib yang lumayan lama, acara pun dilanjutkan oleh aksi brutal dari Alergi Kentes, band punk ini tetap bisa memuaskan penonton walau terpaksa bermain dengan additional vocal dikarenakan “Momon” sang vokalis mendekam di penjara untuk kesekian kalinya. Malam itu mereka juga membawakan “Punk Not Dead”, lagu mereka yang terdengar cukup akrab ditelinga para punker yang menari liar di depan stage.Menyusul setelah itu penampilan dari Moral Marit, veteran melodic punk ikon kota Batu yang sepertinya gagal memancing crowd penonton untuk bergoyang di depan stage. setelah penampilan dari Moral Marit adalah bagian yang paling mengundang decak kagum saya malam itu, dimana saat Banana Steady Beat band Ska Rocksteady asal Lodoyo Blitar tampil, segera setelah mereka membawakan “Dance with me” yang tersohor itu, ratusan penonton maju bersama dan berdansa bersama, tak peduli rude boy, skinhead, mod bahkan punker pun menyatu dengan irama rocksteady, malam itu malah mereka sempat membawakan “Redemption song” sebagai bonus.Dahsyat!.
setelah penampilan Banana Steady Beat usai, menyusul kemudian No Mans Land, salah satu pioner oi!/punk Indonesia yang belakangan sudah jarang terlihat di gigs manapun. mereka membawakan beberapa lagu, seperti”no way out”,”pride of the city” (salah satu lagu baru mereka), “last youth stand”,”ignite” dan “oi! oi! today” yang disambut antusias oleh beberapa skinhead didepan stage sambil meneriakkan kata “oi!”. Sayangnya mereka tidak membawakan banyak lagu malam itu, bahkan lagu “you and me” yang saya sukai tidak mereka bawakan malam itu, padahal saya dan segerombolan skinhead lainnya paling menantikan aksi mereka.
Suku Dalu band ska asal Sidoarjo (dahulu bernama chumush-chumush) menghibur penonton setelahnya dan kemudian disusul oleh Heavy Monster, dimana malam itu band ska asal Surabaya ini tampil dengan additional basist, Namun cukup meriah mengingat crowd penonton yang luar biasa, penonton serentak berdansa gembira saat mereka membawakan lagu “im in the mood for ska” dan
semakin menggila saat Heavy Monster membawakan “one message one love” yang disambut pula oleh sing along penonton. Setelah puas berdansa, penonton segera saja dihajar oleh penampilan Begundal Lowokwaru band punk legendaris kota Malang satu ini kian atraktif saja, Kali ini yang menarik adalah mereka tidak tanggung-tanggung membawa 3 orang dancer bahenol ke stage! Wow, sontak para pria yang ada di dalam venue pun bersorak sorai layaknya para serigala yang haus darah. Malam itu mereka membawakan lagu-lagu yang sudah pasti akrab ditelinga semuanya, yakni “the bottle for all”, “reuni akbar para peminum” dan “equality”.
Menu penutup gigs malam itu adalah penampilan dari The Authentics band 2tone ska yang telah rela datang jauh-jauh dari Jakarta untuk menghibur kendati beberapa hari sebelumnya sang gitaris mereka meninggal dunia. Yang patut disayangkan adalah, kali ini separuh lebih penonton telah pulang dikarenakan kelelahan. Meski demikian The Authentics tetap tampil memukau di stage dengan dawo sang vokalis yang sangat komunikatif berkali-kali terlihat maju menyodorkan mic ke arah penonton dan mengajak bernyanyi bersama, penampilan mereka malam itu dibuka dengan lagu “hey rudi” dan ditutup dengan lagu “untukmu”. Sungguh benar-benar gigs yang meriah walau sempat terjadi keributan kecil toh akhirnya terkendali juga. Kira-kira jam setengah 12 malam saya pun beranjak pulang dengan puas dan basah (efek kehujanan plus keringat).

Anak Punk Ga Selalu Reseh..!

Jangan mencap miring anak punk, kalo belom tau. Mereka emang cuek, tapi juga tau diri. Kenapa mesti berpakaian lusuh?

“Awas anak punk!” Peringatan kayak gitu masih sering terdengar begitu melihat segerombolan anak punk di jalan. Maklum, penampilan anak punk emang bikin “keder” banyak orang. Jaket lusuh yang dipenuhi emblem, sepatu boots Doc Mart, celana panjang ketat, spike (gelang berjeruji) di tangan, rambut tajamnya yang bergaya mohawk (mohak) bikin punkers terkesan garang.
...
Bukan hanya penampilan yang membuat imej punk jadi “lain” dari komunitas remaja kebanyakan, tapi juga tingkah mereka. Bergerombol di jalan, kadang sampe pagi, dan kadang suka terlibat tawuran. Maka, kompletlah punk kena cap sebagai komunitas yang bermasalah. Padahal, apa sebenernya anak punk kayak gitu? Tukang bikin rusuh?

“Salah banget kali, orang-orang ngelihat kita kayak sampah masyarakat. Mereka yang mikir begitu, sebenarnya nggak tau apa-apa tentang kita,”

Penampilan punk yang lusuh bukan berarti kelakuan mereka juga minus. Apalagi penampilan kayak gitu udah menjadi cirri khas punk. Mungkin kelihatan lusuh, dekil, kayak orang aneh, tapi kita nggak pernah ngelakuin tidak criminal kayak maling. “Kalo ada anak punk yang malak, dia nggak ngerti arti punk sebenarnya. Mungkin cuma dandanan luar doang yang punk, dalemnya nggak tau apa-apa,”.

Tapi nggak bisa dipungkiri, penampilan, penampilan punk yang sering kelihatan lusuh nggak terlepas dari sejarah kelahiran punk itu sendiri.Punk lahir di jalanan, dari orang-orang yang tertindas kayak gembel, buruh dan gelandangan yang benci sama kapitalis di Eropa. Mereka benci ama orang kaya yang serakah dan penindas orang miskin.

“Mereka akhirnya terbuang, sampe terus bikin komunitas sendiri. Tapi, kalo lantas dianggap kriminal, ya salah. Punk malah punya jiwa sosial dan solidaritas yang tinggi, terutama buat kelompoknya. Mereka juga memihak rakyat kecil,”

BANYAK ALIRAN

Penampilan seperti itu, juga diikutin abis ama anak punk di Indonesia. Tapi, bukan karena semata karena penampilan yang bikin banyak remaja tertarik masuk kedalam komunitas punk, melainkan karena motto anak punk itu sendiri. Equality (persamaan hak)!

PUNK IN LOVE

Based on True Story Punkers Malang

Film produksi Multivision Pictures (MVP) ini bercerita tentang empat anak punk asli kota Malang, Jawa Timur, yang nekad ke Jakarta dengan bekal uang 27 ribu perak.


Arok (Vino G. Bastian), Yoji (Andhika Pratama), Mojo (Yogi Finanda), dan Almira (Aulia Sarah), bukan mau mengadu nasib di Ibukota. Tapi, mereka cuma menemani Arok yang penasaran mau menyatakan cinta pada cewek pujaannya, Maia, yang 5 hari lagi mau dipersunting cowok lain.

Karena uang di tangan cuma 27 ribu perak, pasti kebayang bagaimana liarnya perjalanan mereka melewati Bromo, Blitar, Semarang, dan Cirebon. Nggak cuma modal nekad, tapi semangat persahabatan bisa mengantarkan mereka sampai ke Jakarta.

Cerita film garapan Ody C. Harahap alias Ocay ini emang ringan banget. Apalagi, dibalut dengan sentuhan komedi yang natural. Ide ceritanya dari kisah nyata seorang anak punk asli Malang bernama Yogi.


“Kisahnya menarik banget! Apalagi, belum ada film yang mengangkat tentang anak-anak punk. Saya tertarik dengan cerita-cerita mereka, cara mereka memandang hidup, dan mereka punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah,” ujar Ocay, saat ditemui di Cosi CafĂ©, Plaza Fx Jakarta, Senin (6/7) sore.


Nggak cuma dari Yogi, tapi Ocay menggali lebih dalam tentang punk dari beberapa komunitas punk. Karena semua tokoh utamnya orang Jawa, sang sutradara nggak mau asal pilih pemain. Ocay pengen pemainnya terlihat senatural mungkin.

“Yang saya request pertama kali itu Vino. Karena karakternya orang Jawa, dan nggak semua aktor bisa memainkannya. Saya pengen pemain yang udah jadi. Saya langsung pilih Vino, meskipun belum tau karakter apa yang cocok,” kata Ocay.

Hasilnya? Vino emang pas banget memerankan Arok. Meskipun harus berdialog dengan bahasa Jawa, akting Vino tetap OK. Banyolan Vino cs. juga terasa ngalir dan nggak maksa. Diantara empat pemeran utama, akting Yogi Finanda yang paling natural dan lucunya dapet banget.

Whatzups sempat meragukan keempat pemain, yang notabene aktor drama, bisa main film komedi. Tapi ternyata, mereka emang kocak abis! Seperti pesan yang disampaikan sutradara lewat film ini, jangan pernah menilai orang dari luarnya aja. Nggak semua anak punk seperti yang kita lihat selama ini.

CARI BLOG


ShoutMix chat widget

Followers